Gerakan Transformasi Papua

"Satu Papua untuk Papua yang lebih baik dan masa depan yang penuh harapan karena Kristus."

Koyaa...Yepmum...wah...wah...

Sa ada nii

Foto saya
wamena, Papua, Indonesia
simple'Papua Original

Minggu, 03 Januari 2010

Raperdasi HIV/AIDS Papua akan Ditolak

“Sejak awal sudah ditolak, tapi tetap diajukan,” tutur Kepala Biro Hukum Provinsi Papua, Johanis KH Roembiak kepada wartawan di Jayapura pekan lalu. Dia menambahkan, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Kesehatan tentang Penanganan HIV/AIDS di Papua kemungkinan akan ditolak pihak Departemen Dalam Negeri.
Menurut dia, ada pasal yang  materi rancangannya, yakni pasal 35 ayat satu hingga delapan, tak sesuai prinsip-prinsip universal pencegahan dan penanggulangan HIV/ AIDS.
“Jika nanti ditolak, maka jelas tak akan berlaku di Papua,” tegas Roembiak, putra asli Kampung Urfu, Kabupaten Biak Numfor.
Roembiak lebih lanjut menguraikan, pasal 35 ayat satu hingga delapan rancangan tersebut jelas merupakan salah satu bentuk diskriminasi tertinggi, yang dirancang penentu kebijakan di Papua.
Hal ini sudah jelas melanggar etika, moral  dan hak asasi manusia setiap orang, khususnya para penderita HIV/AIDS. Perdasi HIV/AIDS di Papua memang penting, tapi penanggulangan virus mematikan ini merupakan tanggungjawab bersama (semua pihak).

Memutus Mata Rantai
Pemutusan mata rantai penularan HIV di Papua, memerlukan studi dan kajian antropologi yang mendalam. Ini agar, penanganannya bisa berjalan efektif. “Perlu studi antropologi yang mendalam,”tutur peneliti dan dosen antropologi Universitas Cenderawasih Djekky R Djoht kepada wartawan di  Jayapura.

"Penelitian antropologi ini menopang  R Djoht menyimpulkan, resiko penularan HIV/AIDS di kalangan waria sangat tinggi. Sebabnya adalah tingginya hubungan seksual berganti pasangan, “pemanasan” sebelum  hubungan seksual, seperti menenggak minuman keras, merokok ganja dan menghirup lem aica-aibon. Ini membuat kesadaran lemah dan mudah terjadi luka yang menjadi pintu masuk virus HIV."
Menurut dia, penularan  HIV melalui di Papua selama ini berlangsung melalui mobilitas pelacuran, tuntutan pekerjaan laki-laki, dan mobilitas kesukuan penduduk pribumi di Papua, seperti upacara adat, kunjungan kerabat, mencari hiburan, dan seks.
“HIV/AIDS merupakan masalah sosial. Jadi, penanggulangannya tidak akan efektif jika hanya ditekankan pada aspek kesehatan; harus dilakukan secara komprehensif secara lintas sektoral. Masalah ini juga harus diatasi dengan pendekatan budaya,” kata Djoht.
Lalu, bagaimana menyikapi penyebaran HIV/AIDS di Papua tanpa sebuah Perdasi dan Perdasus? Jawabannya, jelas sangat tergantung kepada bagaimana masyarakat menyikapi resiko dan perilaku seks menyimpang.
Dosen antropologi Fisip Uncen, Jack R. Djoht  mengatakan, perkiraan jumlah waria di Papua saat sebanyak 300. Jack dan rekan-rekan telah melakukan penelitian, yang juga mencakupi 48 waria/wanita-pria (11 orang asli Papua dan 37 orang non-Papua).
Di lokasi-lokasi penelitian, urai Djoht, hampir 90 persen waria berpacaran dengan pria heteroseksual.
Penelitian antropologi ini menopang  R Djoht menyimpulkan, resiko penularan HIV/AIDS di kalangan waria sangat tinggi. Sebabnya adalah tingginya hubungan seksual berganti pasangan, “pemanasan” sebelum  hubungan seksual, seperti menenggak minuman keras,merokok ganja dan menghirup lem aica-aibon. Ini membuat kesadaran lemah dan mudah terjadi luka yang menjadi pintu masuk virus HIV.
Pasangan heteroseksual memudahkan penularan dari orang lain dan menularkan kepada Waria. Tingkat penggunaan kondom  juga  sangat rendah.
Studi lain yang pernah dilakukan menyebutkan, kebanyakan pekerja seks komersial sulit menolak kemauan pelanggan (enggan mengenakan kondorm).”Pelanggan menolak karena, kata mereka, tidak nikmat!”
Bentuk hubungan seksual melalui mulut dan anus (oral sex and anal sex) sangat memungkinkan terjadinya penularan HIV/AIDS, karena rawan gesekan (luka) yang memudahkan menyusupnya virus HIV.
 Dia juga menyarankan perlunya dilakukan aksi penyadaran atau sosialisasi kepada semua pihak, termasuk pekerja seks dan waria untuk menghindari perilaku seks beresiko.
Merubah perilaku seksual yang berpotensi menularkan penyakit menular seksual (PMS) dan HIV/AIDS, pelurusan mitos seputar hubungan seksual.
Cara-cara melakukan hubungan seksual yang mengelakkan pelaku dari kemungkinan goresan dan lecet pada organ vital (ora sex dan anal sex) patut dipromosikan.

"Bentuk hubungan seksual melalui mulut dan anus (oral sex and anal sex) sangat memungkinkan terjadinya penularan HIV/AIDS, karena rawan gesekan (luka) yang memudahkan menyusupnya virus HIV."
Kebiasaan waria menenggak minuman  keras sebelum berhubungan seks,  hanya merugikan  secara ekonomi, psikologis dan kesehatan.
Segera dibuat perda yang mengatur industri hiburan dan pelacuran yang berorientasi seks aman agar kontrol terhadap penyebaran PMS dan HIV/AIDS di kalangan waria tidak merebak.
Melibatkan LSM, donor internasional dan pemerintah untuk menangani kelompok-kelompok sasaran lain diluar kelompok waria, seperti pelanggan agar mata rantai penularan PMS dan HIV/AIDS pada waria bisa dicegah.
Pemerintah daerah, lewat dinas-dinas sosial, BKKBN, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, perlu terus bergiat bersama LSM, lembaga asing memasyarakatkan dan menyebarkan dan kondom secara rutin dan gratis.
Apalagi saat ini industri hiburan, baik yang terang maupun samar, seperti lokalisasi, dan panti pijat, bar, salon merebak di mana-mana tanpa pengawasan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar