Gerakan Transformasi Papua

"Satu Papua untuk Papua yang lebih baik dan masa depan yang penuh harapan karena Kristus."

Koyaa...Yepmum...wah...wah...

Sa ada nii

Foto saya
wamena, Papua, Indonesia
simple'Papua Original

Selasa, 26 Januari 2010

Kearifan Lokal VS Degradasi dan Deforestasi


Bagi masyarakat Papua hutan bukan saja merupakan sumber pangan dan pendapatan, namun juga sumber pengetahuan dan budaya.  Beragam kebudayaan di kalangan Masyarakat Adat Papua bersumber dari hutan mereka. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rafel Numberjelas, salah satu dari Kepala Suku di Wilayah Keerom, “Jika Tidak Ada Hutan Lagi, Maka Adat Kita Sudah Tidak Ada Lagi!”.  

Masyarakat Adat Papua yang berada jauh dari wilayah urban sangat paham akan hal ini. Mereka bahkan memiliki kemampuan untuk membaca tanda-tanda alam secara turun-temurun. Musim hujan, musim angin hingga musim kering diketahui dari tanda-tanda alam. Secara turun temurun, pengetahuan ini diselaraskan dengan irama keseharian mereka. Pengetahuan ini secara konkrit menjadi panduan hidup dan pegangan untuk menghadapi kerasnya alam Papua dan menjadi kearifan lokal bagi masyarakat setempat. Termasuk dalam menahan laju kerusakan hutan (Deforestasi) maupun penurunan kualitas hutan (Degradasi) yang belakangan ini semakin gencar dikampanyekan.
Willem Bobii, Yeremias Degei, Frans Wakei dan Johanes Supriono yang merupakan para peneliti dalam program Selamatkan Manusia dan Hutan Papua –sebuah program riset dan kampanye yang diselenggarakan oleh Foker LSM Papua- menyebutkan bahwa penduduk Sukikai di Mapia bisa tahu kapan mereka mengalami musim hujan, musim kering atau musim angin dari waktu ayam bertelur, gugurnya daun pohon tertentu hingga suara burung. Jika ayam-ayam mulai bertelur, itu menandakan musim hujan akan segera tiba. Ketika Pohon Digii menggugurkan daunnya, itu pertanda musim kering akan tiba dan sekaligus menandakan waktu yang tepat untuk berburu kodok. Burung Pudidi dan Burung Wogiho adalah dua jenis burung yang masing-masing suaranya menandakan musim hujan dan musim kering. Burung Pudidi jika mulai berkicau ramai, itu pertanda musim kering segera tiba. Sedangkan suara Burung Wogiho menandakan musim hujanlah yang akan tiba.
Selain tanda-tanda alam ini, menurut peneliti tersebut, dalam kehidupan sehari-hari, Orang Mee yang hidup di Wanggar, Kamuu, Mapia dan Piyaiye telah memiliki pengetahuan tinggi mengenai cara memperlakukan tanah. Walaupun bisa dikatakan Orang Mee berkebun dalam tradisi peramu, dimana mereka akan berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain dengan cara membuka hutan namun dalam pandangan Orang Mee, ini bukanlah perambahan hutan yang negatif sebagaimana pandangan masyarakat modern terhadap tradisi peramu ini. Sehingga bukanlah sesuatu yang merusak lingkungan jika mereka membuka satu lokasi untuk berkebun kembali. Dalam memperlakukan tanah, orang Mee mengenal tiga istilah.. Tutuma adalah istilah orang Mee terhadap tanah yang baru saja dipanen hasilnya dan mulai tumbuh rerumputan. Lahan yang disebut tutuma adalah lahan yang tidak boleh ditanami kembali. Utougiho adalah istilah Orang Mee untuk  lahan yang sudah ditumbuhi pohon namun belum memiliki humus. Lahan seperti ini juga belum boleh ditanami. Sedangkan Nagamoteka adalah istilah untuk lahan yang sudah memiliki humus. Lahan seperti ini sudah boleh ditanami kembali karena sudah memiliki humus. Hanya jika lahan Nagamoteka ini tidak bisa ditemukan oleh masyarakat Mee sajalah maka mereka akan membuka hutan untuk berkebun lagi.  Orang Mee juga meyakini relasi orang mereka dengan tanah dan hutannya yang seperti hubungan dua individu (ibu dan anak). Kenyataan ini membuat orang Mee yakin bahwa setelah memegang uang mereka tidak boleh pergi ke kebun. Hal yang sama juga berlaku jika seseorang telah melakukan perkelahian atau membunuh, baik manusia atau anjing. Orang Mee mempelajari ini secara turun temurun dari alam di sekitar mereka. Jika kebiasaan ini dilanggar, segala macam tanaman dikebun mereka akan habis dimakan oleh ulat.
Keyakinan lainnya yang ada pada Orang Mee dalam relasinya dengan tanah adalah keyakinan bahwa di dalam tanah ada sesuatu berupa duri tanah. Duri tanah ini akan memberikan tulahnya jika Orang Mee memberikan izin kepada orang lain untuk mengambil kayu atau isi bumi (menambang) dari tanah milik mereka.  Seorang pemuka adat Kamuu, yakni Gregorius Bobii, yang diwawancarai oleh para peneliti menegaskan kearifan lokal orang Mee sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup mereka.
“Pengelolaan kebun orang Mee melibatkan kearifan lokal yang telah mereka hayati. Hasil kebun tergantung pada pemeliharaan dan larangan-larangan yang dipatuhi. Kebun dipandang sebagai sesama yang memiliki pengertian dan perasaan. Jika manusia memberikan perhatian terhadap kebun dan mengikuti larangan-larangan, hasilnya pasti baik. Jika tidak dipelihara dan larangan-larangan tidak dipatuhi, itu sama dengan tidak menghormati kebun, tidak memenuhi permintaan kebun. Jadi kebun itu ibarat sosok yang meminta perhatian manusia sebelum menyerahkan miliknya kepada manusia.” Jelas Gregorius.
Dalam memandang tanah, Orang Mee tidak pernah menganggap diri mereka sebagi tuan atas tanahnya.  Tanah tidak diberikan oleh Yang Maha Kuasa dalam artian manusia memiliki kekuasaan tak terbatas atas tanah. Inilah yang menjadi pertimbangan utama bagi Orang Mee yang tidak memiliki keturunan dalam memberikan/mewariskan tanah/hutan kepada orang lain.  Ini juga yang membuat orang Mee meyakini bahwa hak ulayat tidak didapatkan karena jasa tertentu. Hak ulayat adalah pemberian Yang Maha Kuasa. Relasinya adalah relasi vertikal, antara Yang Maha Kuasa dengan Manusia. Bukan relasi horisontal, antara manusia dengan manusia. Sehingga kepemilikan atas tanah bagi orang Mee bersifat turun-temurun (ancestral). Menurut para peneliti, hal seperti ini juga ditemukan pada Masyarakat Jerisiam maupun Watee di sekitar Pantai Nusi.
Meski Orang Mee berpandangan bahwa hak ulayat tidak bisa didapatkan/diberikan karena jasa tertentu, namunpandangan bahwa manusia tidak memiliki kekuasaan tak terbatas atas tanah ini bisa jadi merupakan alasan satu marga suku Mee mengalihkan kepemilikan atas tanah mereka kepada marga lainnya. Peralihan kepemilikan ini biasanya terjadi karena salah satu marga membalas jasa/kebaikan Marga yang lainnya. Marga yang mendapatkan kepemilikan atas tanah yang diberikan oleh marga pemberi bisa memanfaatkan tanah tersebut untuk berburu, berkebun atau membangun tempat tinggal. Dan tanah pemberian ini pantang untuk diambil kembali oleh Marga pemilik semula.  Hal yang menarik yang disebutkan oleh para peneliti adalah bahwa konsep tanah bagi Orang Mee mirip dengan konsep Hak Asasi Manusia. Seperti juga HAM yang dimiliki dan sekaligus mengikat manusia sejak ia lahir, maka tanah juga dimiliki oleh orang Mee sejak ia lahir. Demikian juga sebaliknya, tanah memiliki manusia sejak manusia dilahirkan. Pemahaman ini bisa menjelaskan mengapa Orang Mee menganggap tanah mereka sebagai ibu mereka.
Dari pengalaman masyarakat Mee ini, kita bisa melihat bahwa Masyarakat Adat Papua memiliki kearifan tradisional yang berfungsi sebagai benteng pertahanan alam sekitar mereka. Setidaknya, meskipun laju kerusakan hutan terus terjadi di Papua, namun melalui kearifan tradisional ini Orang Mee telah sejak dulu paham untuk menahan laju Deforestasi dan Degradasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar