Sejak lokasi pendulangan emas ditemukan sekitar tahun 2002, tidak sedikit orang berbondong-bondong menuju Degeuwo. Tujuannya tidak lain, memburu kepingan emas sebanyak mungkin.
Dalam sekejap saja, sepanjang Kali Degeuwo dibanjiri orang. Dari Sabang sampai Merauke, semua tumpah ruah mengais rejeki, mendulang emas. Jauh sebelumnya orang ramai-ramai mencari emas di Topo, Distrik Uwapa, Kabupaten Nabire. Selang empat tahun kemudian, tahun 2002, di Tagipige, sebuah dusun yang masih terisolir, tiba-tiba berubah. Di Kampung Nomouwodide, Distrik Bogobaida, Kabupaten Paniai, ditemukan deposit emas yang cukup menjanjikan. Sejak jenis tambang itu ditemukan, mata publik tertuju ke wilayah adat suku Mee dan Wolani. Aktivitas penambangan mulai marak sekitar Maret 2005, bersamaan datangnya para pengusaha dari luar. Ada yang mengantongi ijin dari pemerintah daerah, tapi banyak pula yang tidak. Tidak hanya mendulang emas, banyak diantaranya yang bertugas ganda. Misalnya ada yang membuka tempat-tempat usaha seperti kios emas, warung makan, bahkan kafe dan biliar.
Semenjak aktivitas pendulangan dimulai, saat itu mulai terlihat kerusakan lingkungan. Hutan dibabat. Tanah digali menyerupai terowongan. Ekosistem terancam rusak. Air kali Degeuwo dan mata air lain yang dulunya dikonsumsi warga pribumi, kini terkontaminasi dengan zat kimia. Tidak hanya itu, dampak paling hebat adalah kehancuran moral masyarakat setempat sedang terjadi di Degeuwo. “Tidak ada yang kasih ijin orang dulang emas. Itu kegiatan illegal,” ujar Ketua Dewan Adat Daerah (DAD) Paniyai, John N.R. Gobai kepada JUBI pekan lalu di Nabire. Parahnya, kegiatan penambangan ilegal tersebut diperkuat dengan hadirnya oknum aparat keamanan. Mereka selain ditempatkan di sekitar lokasi pendulangan, juga memanfaatkan jasa penerbangan helikopter dan juga memback-up para pengusaha Non Papua.
Berdasarkan investigasi DAD Paniyai, oknum aparat keamanan tersebut berasal dari tentara TIMSUS 753/AVT bekerjasama PENERBAD Timika. Juga anggota BRIMOBDA Papua diduga memback-up oknum pengusaha illegal.
Awal Masalah
Lahirnya Surat Ijin Pertambangan Emas (SIPE) dari Pemerintah Kabupaten Nabire melalui Dinas Pertambangan dan Enegari, dituding awal masalah. Selain SIPE dikeluarkan tanpa prosedur yang tertera dalan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 14 Tahun 2003, repotnya lagi tak diikuti pengawasan secara ketat dari instansi terkait.
Dalam SIPE juga tidak dicantumkan lokasi yang diijinkan untuk ditambang berada di kampung apa di Distrik Siriwo, Kabupaten Nabire. Tapi hanya disebutkan Kepala Air Poronai. “Ini yang jadi masalah. Padahal, Kepala Air Poronai itu jelas-jelas ada di wilayah Kabupaten Paniai,” kata John.
Sungai Poronai itu sendiri, kepala airnya ada di Kabupaten Paniai dan bermuara di Kabupaten Nabire dan sebagian Kabupaten Waropen. Menurut John, sungai tersebut mempunyai tiga nama. Poronai dalam bahasa Napan (Muara Sungai) di Kabupaten Nabire; Degeuwo (Hilir Sungai) di Kabupaten Paniai adalah sebutan dalam bahasa Mee; dan Kemabu (Kepala Air) di Kabupaten Paniai adalah sebutan dalam bahasa Moni. Itu sebabnya, John menilai, SIPE yang diberikan Pemkab Nabire tak punya kekuatan hukum bagi pengusaha emas. “Kegiatan pendulangan emas di Degeuwo itu tanpa ijin resmi dari Paniai,” tegasnya.
Karena lokasinya di Kabupaten Paniai, maka walaupun pengusaha telah mengantongi SIPE, tetapi mereka tetap dianggap pelaku illegal minning. “Mereka beroperasi dan mengeruk keuntungan sebelum maupun setelah ada SIPE di wilayah Kabupaten Paniai, bukan Kabupaten Nabire,” tutur John.
Pelanggaran Pengusaha
Dari investigasi yang dilakukan DAD Paniyai tahun 2005, ditemukan banyak jenis pelanggaran yang dilakukan para pengusaha. Pertama, Pendulangan Emas Ilegal. Kegiatan pendulangan dilakukan oleh oknum yang sangat buta aturan. Semua upaya pengaturan dari Pemerintahan Kabupaten Paniai tak pernah diindahkan. Termasuk niat baik dari Dewan Adat dan pemerintahan distrik Bogobaida pun diabaikan para pengusaha. “Penambangan yang masih berlangsung itu tanpa ada rekomendasi dari Bupati Paniai. Jadi itu kegiatan pendulangan emas tanpa ijin yang berlangsung di Kabupaten Paniai,” tukas John.
Kedua, Pengrusakan Lingkungan Hidup. Pengrusakan lingkungan berskala besar yang diperkirakan sudah mencapai ribuan hektar hutan, baik diatas dan dalam tanah dengan dibuat terowongan vertikal sepanjang 10 sampai 30 meter. Juga telah terjadi pencemaran sungai Degeuwo yang dikonsumsi oleh belasan ribu penduduk lokal sepanjang sungai itu akibat penggunaan zat-zat kimia, seperti mercuri dan air raksa.
Menurut John, aktivitas penambangan emas ini tidak didahului Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). “Karena ini tidak mempertimbangkan keseimbangan lingkungan, sehingga mengakibatkan daerah ini akan hancur pada suatu waktu karena telah dirusak oleh para pendulang,” tandasnya.
Selain itu, penggunaan alat berat di lokasi 58 –yang dikerjakan oleh pengusaha Dony Lauwa— juga menjadi satu penyebab kerusakan lingkungan. Disinyalir beberapa pengusaha emas juga sedang memakai alat berat dalam kegaiatan penambangan. Pengusaha lainnya bahkan berniat mendatangkan alat berat yang bakal membawa dampak kerusakan lingkungan di sekitar lokasi pendulangan emas tanpa ijin (PETI) di Degeuwo. Termasuk ekosistem pun rusak. Praktis, daya dukung lingkungan terhadap kehidupan masyarakat setempat sedang terancam. Pengrusakan lingkungan yang hebat dengan adanya pembuatan terowongan di daerah Bayabiru serta pengikisan tanah. Juga pemakaian zat beracun oleh para pengusaha ini termasuk kegiatan pencemaran lingkungan.
Ketiga, Pengrusakan Moral dan Pembangunan. Di lokasi pendulangan, diduga sedang terjadi penyebaran virus HIV/AIDS. Ini bersamaan masuknya puluhan Wanita Pekerja Seks (WPS) yang sedang bergerilya di lokasi pendulangan.
Keterlibatan Oknum Aparat
Di Bayabiru terdapat satu pos polisi (Pospol) yang ditempatkan oleh Kepolisian Resort Paniai. Jumlah personilnya 7 orang. Selain itu beberapa anggota Brimobda juga didatangkan oleh para pengusaha. Sebut saja H. Dasril di Ndeotadi (Lokasi 45), H. Muhamad Ari di Lokasi Miminitinggi 81, dan Jaya di Lokasi Tagipige.
Karena kepentingan pengusaha, mereka sehari-hari menjaga pantongan, sejenis terowongan, untuk mencari emas. Jika areal tersebut dilewati masyarakat, mereka marah dan memukul masyarakat. Bahkan mereka pun sering kali mengeluarkan tembakan untuk mengintimidasi masyarakat.
Seperti peristiwa keributan di lokasi terowongan milik Rizal Kibas, 24 Agustus 2008. Terjadi perang mulut antara seorang warga Dani. Korban dipukuli seorang anggota Brimob bahkan mengeluarkan beberapa butir peluru di depan pos polisi. Oknum aparat juga kerapkali bertindak berlebihan. Kasus terakhir menimpa Sepanya Anoka (16), 11 Juli 2009. Sepanya terkena timah panas milik oknum polisi di Dusun Tayaga I, Kampung Nomouwodide. Ia tertembak saat mempertanyakan lokasi milik keluarga Anoka yang diserobot pengusaha asal Sangir-Talaud, Ungke. Keterlibatan oknum anggota aparat dalam bisnis miras maupun pemasok BBM ke lokasi pendulangan emas serta menjadi pengusaha emas diduga tidak terlepas dari kepentingan pimpinannya.
Ladang Pembantaian
Degeuwo yang masih terus dibanjiri para pendulang dan pengusaha emas, berpotensi menjadi ladang pembantaian. “Analisis DAD Paniyai bahwa bila tidak ada niat baik dari semua pihak dan pengusaha illegal, maka diperkirakan daerah itu akan menjadi ladang pembantain baru (Killing Field) mengingat sejumlah oknum aparat dari TNI dan BRIMOB sudah ada disana sejak lama,” tegas John.
Adanya ketimpangan antara pengusaha dengan penduduk asli akan memicu terjadinya konflik horizontal antar masyarakat Papua, juga konflik antar penduduk non Papua dan Papua seperti yang pernah terjadi di Topo sebelumnya. “Selain itu, bisnis ini telah menjadi pintu baru masuk virus HIV/ AIDS dengan berhamburnya Perempuan Gerilyawan Seks di hutan belantara serta beredarnya miras lengkap dengan kafe,” tandasnya
Dalam sekejap saja, sepanjang Kali Degeuwo dibanjiri orang. Dari Sabang sampai Merauke, semua tumpah ruah mengais rejeki, mendulang emas. Jauh sebelumnya orang ramai-ramai mencari emas di Topo, Distrik Uwapa, Kabupaten Nabire. Selang empat tahun kemudian, tahun 2002, di Tagipige, sebuah dusun yang masih terisolir, tiba-tiba berubah. Di Kampung Nomouwodide, Distrik Bogobaida, Kabupaten Paniai, ditemukan deposit emas yang cukup menjanjikan. Sejak jenis tambang itu ditemukan, mata publik tertuju ke wilayah adat suku Mee dan Wolani. Aktivitas penambangan mulai marak sekitar Maret 2005, bersamaan datangnya para pengusaha dari luar. Ada yang mengantongi ijin dari pemerintah daerah, tapi banyak pula yang tidak. Tidak hanya mendulang emas, banyak diantaranya yang bertugas ganda. Misalnya ada yang membuka tempat-tempat usaha seperti kios emas, warung makan, bahkan kafe dan biliar.
Semenjak aktivitas pendulangan dimulai, saat itu mulai terlihat kerusakan lingkungan. Hutan dibabat. Tanah digali menyerupai terowongan. Ekosistem terancam rusak. Air kali Degeuwo dan mata air lain yang dulunya dikonsumsi warga pribumi, kini terkontaminasi dengan zat kimia. Tidak hanya itu, dampak paling hebat adalah kehancuran moral masyarakat setempat sedang terjadi di Degeuwo. “Tidak ada yang kasih ijin orang dulang emas. Itu kegiatan illegal,” ujar Ketua Dewan Adat Daerah (DAD) Paniyai, John N.R. Gobai kepada JUBI pekan lalu di Nabire. Parahnya, kegiatan penambangan ilegal tersebut diperkuat dengan hadirnya oknum aparat keamanan. Mereka selain ditempatkan di sekitar lokasi pendulangan, juga memanfaatkan jasa penerbangan helikopter dan juga memback-up para pengusaha Non Papua.
Berdasarkan investigasi DAD Paniyai, oknum aparat keamanan tersebut berasal dari tentara TIMSUS 753/AVT bekerjasama PENERBAD Timika. Juga anggota BRIMOBDA Papua diduga memback-up oknum pengusaha illegal.
Awal Masalah
Lahirnya Surat Ijin Pertambangan Emas (SIPE) dari Pemerintah Kabupaten Nabire melalui Dinas Pertambangan dan Enegari, dituding awal masalah. Selain SIPE dikeluarkan tanpa prosedur yang tertera dalan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 14 Tahun 2003, repotnya lagi tak diikuti pengawasan secara ketat dari instansi terkait.
Dalam SIPE juga tidak dicantumkan lokasi yang diijinkan untuk ditambang berada di kampung apa di Distrik Siriwo, Kabupaten Nabire. Tapi hanya disebutkan Kepala Air Poronai. “Ini yang jadi masalah. Padahal, Kepala Air Poronai itu jelas-jelas ada di wilayah Kabupaten Paniai,” kata John.
Sungai Poronai itu sendiri, kepala airnya ada di Kabupaten Paniai dan bermuara di Kabupaten Nabire dan sebagian Kabupaten Waropen. Menurut John, sungai tersebut mempunyai tiga nama. Poronai dalam bahasa Napan (Muara Sungai) di Kabupaten Nabire; Degeuwo (Hilir Sungai) di Kabupaten Paniai adalah sebutan dalam bahasa Mee; dan Kemabu (Kepala Air) di Kabupaten Paniai adalah sebutan dalam bahasa Moni. Itu sebabnya, John menilai, SIPE yang diberikan Pemkab Nabire tak punya kekuatan hukum bagi pengusaha emas. “Kegiatan pendulangan emas di Degeuwo itu tanpa ijin resmi dari Paniai,” tegasnya.
Karena lokasinya di Kabupaten Paniai, maka walaupun pengusaha telah mengantongi SIPE, tetapi mereka tetap dianggap pelaku illegal minning. “Mereka beroperasi dan mengeruk keuntungan sebelum maupun setelah ada SIPE di wilayah Kabupaten Paniai, bukan Kabupaten Nabire,” tutur John.
Pelanggaran Pengusaha
Dari investigasi yang dilakukan DAD Paniyai tahun 2005, ditemukan banyak jenis pelanggaran yang dilakukan para pengusaha. Pertama, Pendulangan Emas Ilegal. Kegiatan pendulangan dilakukan oleh oknum yang sangat buta aturan. Semua upaya pengaturan dari Pemerintahan Kabupaten Paniai tak pernah diindahkan. Termasuk niat baik dari Dewan Adat dan pemerintahan distrik Bogobaida pun diabaikan para pengusaha. “Penambangan yang masih berlangsung itu tanpa ada rekomendasi dari Bupati Paniai. Jadi itu kegiatan pendulangan emas tanpa ijin yang berlangsung di Kabupaten Paniai,” tukas John.
Kedua, Pengrusakan Lingkungan Hidup. Pengrusakan lingkungan berskala besar yang diperkirakan sudah mencapai ribuan hektar hutan, baik diatas dan dalam tanah dengan dibuat terowongan vertikal sepanjang 10 sampai 30 meter. Juga telah terjadi pencemaran sungai Degeuwo yang dikonsumsi oleh belasan ribu penduduk lokal sepanjang sungai itu akibat penggunaan zat-zat kimia, seperti mercuri dan air raksa.
Menurut John, aktivitas penambangan emas ini tidak didahului Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). “Karena ini tidak mempertimbangkan keseimbangan lingkungan, sehingga mengakibatkan daerah ini akan hancur pada suatu waktu karena telah dirusak oleh para pendulang,” tandasnya.
Selain itu, penggunaan alat berat di lokasi 58 –yang dikerjakan oleh pengusaha Dony Lauwa— juga menjadi satu penyebab kerusakan lingkungan. Disinyalir beberapa pengusaha emas juga sedang memakai alat berat dalam kegaiatan penambangan. Pengusaha lainnya bahkan berniat mendatangkan alat berat yang bakal membawa dampak kerusakan lingkungan di sekitar lokasi pendulangan emas tanpa ijin (PETI) di Degeuwo. Termasuk ekosistem pun rusak. Praktis, daya dukung lingkungan terhadap kehidupan masyarakat setempat sedang terancam. Pengrusakan lingkungan yang hebat dengan adanya pembuatan terowongan di daerah Bayabiru serta pengikisan tanah. Juga pemakaian zat beracun oleh para pengusaha ini termasuk kegiatan pencemaran lingkungan.
Ketiga, Pengrusakan Moral dan Pembangunan. Di lokasi pendulangan, diduga sedang terjadi penyebaran virus HIV/AIDS. Ini bersamaan masuknya puluhan Wanita Pekerja Seks (WPS) yang sedang bergerilya di lokasi pendulangan.
Keterlibatan Oknum Aparat
Di Bayabiru terdapat satu pos polisi (Pospol) yang ditempatkan oleh Kepolisian Resort Paniai. Jumlah personilnya 7 orang. Selain itu beberapa anggota Brimobda juga didatangkan oleh para pengusaha. Sebut saja H. Dasril di Ndeotadi (Lokasi 45), H. Muhamad Ari di Lokasi Miminitinggi 81, dan Jaya di Lokasi Tagipige.
Karena kepentingan pengusaha, mereka sehari-hari menjaga pantongan, sejenis terowongan, untuk mencari emas. Jika areal tersebut dilewati masyarakat, mereka marah dan memukul masyarakat. Bahkan mereka pun sering kali mengeluarkan tembakan untuk mengintimidasi masyarakat.
Seperti peristiwa keributan di lokasi terowongan milik Rizal Kibas, 24 Agustus 2008. Terjadi perang mulut antara seorang warga Dani. Korban dipukuli seorang anggota Brimob bahkan mengeluarkan beberapa butir peluru di depan pos polisi. Oknum aparat juga kerapkali bertindak berlebihan. Kasus terakhir menimpa Sepanya Anoka (16), 11 Juli 2009. Sepanya terkena timah panas milik oknum polisi di Dusun Tayaga I, Kampung Nomouwodide. Ia tertembak saat mempertanyakan lokasi milik keluarga Anoka yang diserobot pengusaha asal Sangir-Talaud, Ungke. Keterlibatan oknum anggota aparat dalam bisnis miras maupun pemasok BBM ke lokasi pendulangan emas serta menjadi pengusaha emas diduga tidak terlepas dari kepentingan pimpinannya.
Ladang Pembantaian
Degeuwo yang masih terus dibanjiri para pendulang dan pengusaha emas, berpotensi menjadi ladang pembantaian. “Analisis DAD Paniyai bahwa bila tidak ada niat baik dari semua pihak dan pengusaha illegal, maka diperkirakan daerah itu akan menjadi ladang pembantain baru (Killing Field) mengingat sejumlah oknum aparat dari TNI dan BRIMOB sudah ada disana sejak lama,” tegas John.
Adanya ketimpangan antara pengusaha dengan penduduk asli akan memicu terjadinya konflik horizontal antar masyarakat Papua, juga konflik antar penduduk non Papua dan Papua seperti yang pernah terjadi di Topo sebelumnya. “Selain itu, bisnis ini telah menjadi pintu baru masuk virus HIV/ AIDS dengan berhamburnya Perempuan Gerilyawan Seks di hutan belantara serta beredarnya miras lengkap dengan kafe,” tandasnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar