Gerakan Transformasi Papua

"Satu Papua untuk Papua yang lebih baik dan masa depan yang penuh harapan karena Kristus."

Koyaa...Yepmum...wah...wah...

Sa ada nii

Foto saya
wamena, Papua, Indonesia
simple'Papua Original

Senin, 04 Januari 2010

black brothers "iriantos Primitives" Panah yang manghujam Jakarta

Tahun 70-an adalah eranya perkembangan musik moderen Indonesia. Sejarah mencatat meroketnya berbagai grup musik dari berbagai aliran atau genre. Sebutlah Koesplus, The Mercy’s, Panbers, D’Loyd, Favourite, Bimbo, Rollies, dan lain sebagainya. Grup asal Jakarta atau Bandung itu rata-rata membawa aliran pop atau cabang terdekatnya. Sementara aliran keras seperti rock lebih banyak diusung oleh para musisi yang berangkat dari kota-kota di Jawa Timur seperti Malang dan Surabaya. Sebut saja AKA, SAS, God Bless, dan sebagainya. Hadir juga grup aliran melayu seperti Soneta, dan belakangan Tarantula. Perusahaan ataupun studio rekaman seperti Irama Tara, Remaco, Yukawi, Musica, dan sebagainya meraup banyak keuntungan dari mereka. Terlebih pada saat itu sistem hak cipta (Copyrights) belum disyahkan di Indonesia, maka dipegang pihak studio rekaman. Pada masa itu, yang menjadi kitab suci kaum muda adalah majalah musik ternama Aktuil. Media lain adalah TVRI, yang saat itu merupakan satu-satunya stasiun televisi di Indonesia. Melalui Aktuil dan TVRIlah para musisi dan grup dikenal luas. Kedua media tersebut sekaligus menjadi alat pemasaran utama.
Tiba-tiba, pada awal tahun 1975 ada enam anak panah melesat kencang dari timur mengarah Jakarta. Panah yang meluncur dari busur Andy Ayamiseba itu bernama Black Brothers. Formasi mereka terdiri dari; Hengky Mironthoneng - Lead Vocal, Guitarist, Benny Bettay - Bassist, Backing Vocal, Yochie Pattipeiluhu - Keyboardman, Backing Vocal, Stevie Mambor - Drummer, Backing Vocal, David (Dullah) Rumagesan - Saxophonist, dan Amry Kahar - Trumpet.Sejak tahun itu Black Brothers mulai merekam album-albumnya. Perusahaan rekamanan yang mereka pakai adalah PT Irama Tara, rekaman dilakukan di studio Remaco. Teknologi rekaman saat itu sangat ketinggalan dibanding sekarang. Andy mengisahkan.
 “Suka-duka rekaman pada saat itu sangat menarik, periode itu adalah masa transisi studio dari 8 track ke 24 track. Karena pengalaman para teknisi studio yang kurang terhadap multy track recording, maka mereka banyak memakai grup-grup musik sebagai kelinci percobaan. Bila dibandingkan dengan teknologi rekaman di Indonesia sekarang yang sudah memakai alat-alat digital, memang sangat berbeda kualitasnya”.
Sampai tahun 1979 Black Brothers berhasil menelorkan delapan buah album. Generasi 70-an pasti masih ingat dengan hits-hits yang dihasilkan grup ini. Antara lain; Persipura, Tejalin Kembali, Kisah Seorang Pramuria, Derita Tiada Akhir, Hari Kiamat, Lonceng Kematian, Doa Pramuria, Hilang, Gadis Lembah Sunyi, Balada Dua Remaja, dan sebagainya. Kesuksesan Black Brothers juga terlihat pada setiap road show yang selalu dibanjiri tidak kurang dari 50000 penonton. Karena itu Black Brothers hanya tampil di stadion utama kota-kota besar agar penonton yang membludak bisa tertampung. Setiap kali Black Brothers show, Andy Ayamiseba sebagai menejer menyertakan enam crew dan mengusung peralatan seberat lima ton agar tampil sempurna. Itu semua untuk memuaskan penggemar. Karena itu bisa dimengerti bila Black Brothers masuk dalam jajaran tiga grup termahal untuk show. Dua grup yang lain adalah God Bless dan SAS yang beraliran rock. Black Brothers sendiri cenderung membawakan lagu-lagu berirama sweet pop, padahal pada awalnya mereka sangat terpengaruh grup-grup hard rock seperti Deep Purple, Grand Funk Rail Road, dan Led Zeppelin. Mungkin dikarenakan mereka lebih banyak berhubungan dengan Rinto Harahap dan Charles Hutagalung (The Mercys) para pengibar lagu melankolis.
Menapaktilas kembali Black Brothers, artinya kita juga harus merunut sejarah awal mereka. Andy Ayamiseba mengisahkannya sebagai berikut.
“Awalnya, saya menyeleksi dari tiga grup band, masing-masing Benny Bettay, Stevie Mambor, dan Musa Fakdawer dari band PdK di Jayapura, sedangkan Jochie Pattipeiluhu dari Pattilapa Bersaudara di Jayapura, dan yang terakhir adalah Hengky Mironthoneng dari Martini Band di kota Biak. Mereka saya kumpulkan, dan membentuk grup band diberi nama Iriantos Primitives”.  
Boleh dibilang Iriantos Primitives adalah akar dari sebuah pohon yang kelak tumbuh besar. Hingga, pada pertengahan tahun 1974 Black Brothers resmi berdiri dengan formasi awal personal Iriantos Primitives ditambah Corry Rumbino. Menurut Andy, nama Black Brothers dipilih berdasarkan identitas orang Papua sebagai saudara-saudara berkulit hitam yang bersignifikasi dengan ciri-ciri khusus tersendiri dan sangat berbeda dari saudara-saudara lain di RI.
Dari penuturan Andy tersebut kita bisa memastikan Black Brothers memang bukan grup asal jadi. Mereka adalah para pemuda penuh talenta yang tiada henti menempa diri. Bahkan di saat suksespun mereka tetap rajin melakukan latihan rutin tiga kali dalam seminggu. Anak panah yang terus diasah, yang ketajamannya menembus hati kawula muda Nusantara. Kehadirannya di TVRI  dalam bentuk clips yang mahal produksi Irama Tara terus ditongkrongi jutaan penggemar. Maka tidak mengherankan jika Black Brothers dinobatkan sebagai kelompok musik terpopuler Indonesia versi lima majalah ternama diantaranya Femina dan Gadis. Luka cinta rindu dendam kepada grup legendaris ini masih membekas di hati remaja angkatan 70-an dan terbawa hingga tua. Yang membuat trenyuh, lagu-lagu mereka juga didendangkan oleh remaja sekarang. Melihat hal itu, SAMPARI menanyakan kemungkinan reborn Black Brothers.
“Yah, memang benar ada, tetapi bukan dalam bentuk personal melainkan karya-karya Black Brothers yang mau kita kumpulkan dalam koleksi khusus. Rencananya kita reproduksi dengan aransemen baru demi menghidupkan grup legendaris yang telah mewarnai sejarah musik Indonesia dan Pasifik Selatan, khususnya di negri asalnya Papua”.
SAMPARI juga menanyakan kerinduannya untuk pentas di Indonesia.
“Rindu sih rindu, cuma apa daya tangan tak sampai. Black Brothers telah kehilangan orang depannya, dan suaranya sulit untuk diganti dengan suara orang lain”.

Yang dimaksud Andy adalah Agustinus Rumwaropen yang meninggal di Canberra, Australia, pada tanggal 16 Mei 2005, dan Hengky Mironthoneng meninggal di Rotterdam, Nederland, pada 19 April 2006. Kesedihan itu sangat beralasan, tapi apakah ada alasan lain mengingat Black Brothers menyandang status sebagai kelompok seniman exile? Andy Ayamiseba berjanji akan menuntaskan penuturannya pada edisi SAMPARI berikutnya. Tetapi sayang sekali lantaran SAMPARI tidak lagi terbit, maka bagian terakhir (Road to Exile) pun urung muat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar